Saturday, 7 May 2011

SYEKH SITI JENAR

Syekh Siti Jenar (juga dikenal dalam banyak nama lain, antara lain Sitibrit, Lemahbang, dan Lemah Abang) adalah seorang tokoh yang dianggap sebagai sufi dan salah seorang penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Tidak ada yang mengetahui secara pasti asal-usulnya. Di masyarakat, terdapat banyak variasi cerita mengenai asal-usul Syekh Siti Jenar.
Sebagian umat Islam menganggapnya sesat karena ajarannya yang terkenal, yaitu Manunggaling Kawula Gusti. Akan tetapi, sebagian yang lain menganggap bahwa Syekh Siti Jenar adalah seorang intelektual yang telah memperoleh esensi Islam itu sendiri. Ajaran-ajarannya tertuang dalam karya sastra buatannya yang disebut pupuh. Ajaran yang sangat mulia dari Syekh Siti Jenar adalah budi pekerti.
Syekh Siti Jenar mengembangkan ajaran cara hidup sufi yang dinilai bertentangan dengan ajaran Walisongo. Pertentangan praktik sufi Syekh Siti Jenar dengan Walisongo terletak pada penekanan aspek formal ketentuan syariah yang dilakukan oleh Walisongo.

Konsep dan ajaran

Ajaran Syekh Siti Jenar yang paling kontroversial terkait dengan konsepnya tentang hidup dan mati, Tuhan dan kebebasan, serta tempat berlakunya syariat tersebut. Syekh Siti Jenar memandang bahwa kehidupan manusia di dunia ini disebut sebagai kematian. Sebaliknya, apa yang disebut umum sebagai kematian, justru disebut sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan abadi olehnya.
Sebagai konsekuensinya, kehidupan manusia di dunia ini tidak dapat dikenai hukum yang bersifat keduniawian, misalnya hukum negara, tetapi tidak termasuk hukum syariat peribadatan sebagaimana yang ditentukan oleh syariah. Menurut ulama pada masa itu yang memahami inti ajaran Syekh Siti Jenar, manusia di dunia ini tidak harus memenuhi rukun Islam yang lima, yaitu syahadat, salat, puasa, zakat, dan haji. Baginya, syariah baru akan berlaku setelah manusia menjalani kehidupan pasca kematian. Syekh Siti Jenar juga berpendapat bahwa Allah itu ada dalam dirinya, yaitu di dalam budi. Pemahaman inilah yang dipropagandakan oleh para ulama pada masa itu, mirip dengan konsep Al-Hallaj (tokoh sufi Islam yang dihukum mati pada awal sejarah perkembangan Islam, kira-kira pada abad ke-9 Masehi) tentang hulul yang berkaitan dengan kesamaan sifat Tuhan dan manusia.
Selain itu, menurut Syekh Siti Jenar, pemahaman ketauhidan harus melewati empat tahap, yaitu:
  • Syariat, dengan menjalankan hukum-hukum agama seperti salat, zakat, dan lain-lain,
  • Tarekat, dengan melakukan amalan-amalan seperti wirid, zikir dalam waktu dan hitungan tertentu,
  • Hakekat, di mana hakikat dari manusia dan kesejatian hidup akan ditemukan, dan
  • Makrifat, kecintaan kepada Allah dengan makna seluas-luasnya.
Bukan berarti bahwa setelah memasuki tahapan-tahapan tersebut, maka tahapan di bawahnya ditiadakan. Pemahaman inilah yang kurang bisa dimengerti oleh para ulama pada masa itu tentang ilmu tasawuf yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar. Ilmu yang baru bisa dipahami ratusan tahun setelah wafatnya Syekh Siti Jenar. Para ulama mengkhawatirkan adanya kesalahpahaman dalam menerima ajaran yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar kepada masyarakat awam di mana pada masa itu, ajaran Islam yang harus disampaikan seharusnya masih pada tingkatan syariat, sedangkan ajaran Syekh Siti Jenar telah jauh memasuki tahap hakekat, bahkan makrifat kepada Allah. Oleh karena itu, ajaran yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar hanya dapat dibendung dengan label sesat.
Dalam pupuhnya, Syekh Siti Jenar merasa malu apabila harus memperdebatkan masalah agama. Alasannya sederhana, yaitu dalam agama apa pun, setiap pemeluknya sebenarnya menyembah zat Yang Maha Kuasa, hanya saja masing-masing menyembah dengan menyebut nama yang berbeda dan menjalankan ajaran dengan cara yang belum tentu sama. Oleh karena itu, masing-masing pemeluk agama tidak perlu saling berdebat untuk mendapat pengakuan bahwa agama yang dianutnya adalah yang paling benar. Pendapat inilah yang menjadi pegangan bagi para sebagian besar pengusung ideologi pluralisme (dari kalangan yang mengaku Muslim) di Indonesia. Jelas pandangan ini telah bertentangan dengan ilmu Tauhid yang diajarkan Islam melalui Rasulullah SAW. sehingga ajaran Syekh Siti Jenar pun dinilai sesat oleh ulama', melalui tinjauan-tinjauan syari'at Islam.
Syekh Siti Jenar juga mengajarkan agar seseorang dapat lebih mengutamakan prinsip ikhlas dalam menjalankan ibadah. Orang yang beribadah dengan mengharapkan surga atau pahala berarti belum bisa disebut ikhlas.

Manunggaling Kawula Gusti

Dalam ajarannya ini, pendukungnya berpendapat bahwa Syekh Siti Jenar tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan. Arti dari Manunggaling Kawula Gusti dianggap bukan bercampurnya Tuhan dengan makhluk-Nya, melainkan bahwa Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk dan dengan kembali kepada Tuhannya, manusia telah bersatu dengan Tuhannya.
Dalam ajarannya pula, Manunggaling Kawula Gusti bermakna bahwa di dalam diri manusia terdapat roh yang berasal dari roh Tuhan sesuai dengan ayat Al-Quran yang menerangkan tentang penciptaan manusia:

Ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh-Ku, maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya." Q.S. Shaad: 71-72
Dengan demikian, roh manusia akan menyatu dengan roh Tuhan ketika terjadi penyembahan terhadap Tuhan. Perbedaan penafsiran ayat Al-Quran dari para murid Syekh Siti Jenar inilah yang menimbulkan polemik bahwa di dalam tubuh manusia bersemayam roh Tuhan.

Pengertian Zadhab

Dalam kondisi manusia modern seperti saat ini, sering ditemui manusia yang mengalami zadhab atau kegilaan berlebihan terhadap Allah. Mereka belajar tentang bagaimana Allah bekerja sehingga ketika keinginannya sudah lebur terhadap kehendak Allah, maka yang ada dalam pikirannya hanyalah Allah. Di sekelilingnya tidak tampak manusia lain, kecuali hanya Allah yang berkehendak.
Sebaiknya didampingi guru mursyid yang berpedoman pada Al-Quran dan hadits, agar tidak mudah dipengaruhi oleh setan. Semakin tinggi tingkat keimanannya, semakin jauh pula setan menjerumuskannya.

Hamamayu Hayuning Bawana

Prinsip ini berarti memakmurkan bumi. Ini mirip dengan pesan utama Islam, yaitu rahmatan lil 'alamin. Seseorang dianggap muslim salah satunya apabila dia bisa memberikan manfaat bagi lingkungannya, bukannya menciptakan kerusakan di muka bumi.

Kontroversi

Kontroversi yang lebih hebat muncul mengenai hal-ihwal kematian Syekh Siti Jenar. Ajarannya yang amat kontroversial itu telah membuat gelisah para pejabat Kesultanan Demak. Di sisi kekuasaan, Kesultanan Demak khawatir ajaran ini akan berujung pada pemberontakan mengingat salah satu murid Syekh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging atau Ki Kebokenanga, adalah keturunan elite Majapahit, sama seperti Raden Patah, dan mengakibatkan konflik di antara keduanya.
Dari sisi agama Islam, Walisongo yang menopang kekuasaan Kesultanan Demak khawatir ajaran ini akan terus berkembang sehingga menyebarkan kesesatan di kalangan umat. Kegelisahan ini membuat mereka merencanakan suatu tindakan bagi Syekh Siti Jenar untuk segera datang menghadap ke Kesultanan Demak.
Pengiriman utusan Syekh Dumbo dan Pangeran Bayat ternyata tidak cukup untuk membuat Siti Jenar memenuhi panggilan untuk datang menghadap ke Kesultanan Demak hingga konon akhirnya para Walisongo sendirilah yang akhirnya datang ke Desa Krendhasawa di mana perguruan Syekh Siti Jenar berada.
Para wali dan pihak kerajaan sepakat untuk menjatuhkan hukuman mati bagi Syekh Siti Jenar dengan tuduhan telah membangkang kepada raja. Maka, berangkatlah lima wali yang diusulkan oleh Syekh Maulana Maghribi ke Desa Krendhasawa. Kelima wali itu adalah Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Pangeran Modang, Sunan Kudus, dan Sunan Geseng.
Sesampainya di sana, terjadi perdebatan dan adu ilmu antara kelima wali tersebut dengan Syekh Siti Jenar. Menurut Syekh Siti Jenar, kelima wali tersebut tidak usah repot-repot ingin membunuhnya karena ia bisa meminum tirta marta (air kehidupan) sendiri. Ia dapat menuju kehidupan yang hakiki jika memang ia dan budinya menghendaki.
Tidak lama kemudian, terbujurlah jenazah Syekh Siti Jenar di hadapan kelima wali. Ketika hal ini diketahui oleh murid-muridnya, serentak keempat muridnya yang pandai, yaitu Ki Bisono, Ki Donoboyo, Ki Chantulo, dan Ki Pringgoboyo ikut mengakhiri "kematian"-nya dengan cara yang misterius seperti yang dilakukan oleh gurunya di hadapan para wali.

Kisah pasca kematian

Terdapat kisah yang menyebutkan bahwa ketika jenazah Syekh Siti Jenar disemayamkan di Masjid Demak, menjelang salat Isya, semerbak bunga dan cahaya memancar dari jenazahnya. Jenazah Syekh Siti Jenar sendiri selanjutnya dimakamkan di bawah Masjid Demak oleh para wali. Pendapat lain mengatakan, ia dimakamkan di Masjid Mantingan, Jepara, dengan nama lain.
Setelah tersiar kabar kematian Syekh Siti Jenar, banyak muridnya yang mengikuti jejak gurunya untuk menuju kehidupan yang hakiki, antara lain Kiai Lonthang dari Semarang, Ki Kebo Kenanga, dan Ki Ageng Tingkir.

Wednesday, 20 April 2011

MENGUBAH METODE PEMBELAJARAN PESANTREN


 Dalam skala yang sangat kecil yang sudah lama menjadi tradisi sampai sekarang masih digunakan sebagai praksis proses pembelajaran dihampir semua pesantren, khususnya yang berbau salaf. Tradisional model pendidikan pesantren yang telah lama mendarahdaging agaknya sangat sulit umtuk merubahnya menuju paradigma pendidikan yang dialektif (memberi kebebasan kepada santri untuk berbicara). Hampir semua jenjang pendidikan pesantren hanya memusatkan pada kemampuan otak kiri santri, sebaliknya otak kanan santre, serta pusat berpikir transcendental kurang ditumbuhkembangkan, bahkan tak pernah disinggung secara sestematis pada tataran pendidikan pesantren. Kondisi ini menyebabkan endidikan pesantren hanya mampu menghasilkan orang-orang tahu ilmu agama tetapi tidak mampu mengaplikasikannya dalam praksis kehidupan. Hal ini menyababkan outcame pesantren menghasilkan santri yang tidak berkualitas, tidak mampu membawa masyarakat kearah perubahan yang lebih baik. 

Padahal santri adalah sosok orang yang dijadikan sebagai teladan bagi masyarakat. Realita semacam ini masih jauh dari yang dicita-citakan oleh ulama reformis-rasionalis (Gus Dur), yang bertujuan untuk membentuk santri yang takwa, kreatif, inofatif, dan kritis.Sebagai contoh pesantren kebanyakan lebih memntingkan kemampuan IQ tanpa memeperhatikan yang lebih pada EQ dan SQ santri. Pada tingkat IQ pun proses pembelajaran masih sangat pasif, kaku, dan proses penyampaian materi hanya searah, artinya tidak ada proses dialektif secara langsung dalam proses pembelajaran (pengajian kitab kuning), santri tidak pernah diberi kesempatan untuk bertanya langsung pada saat pengajian.

Santri hanya bisa “mantuk-mantuk tapi ora kepetuk, ngah-nggih tapi ora kepanggih”. Ketidakpahaman santri hanya ada dalam angan yang mengambang yang solusinya mau tidak mau harus mencari sendiri, atau mungkin bertanya kepada temannya yang juga mempunyai kualitas yang sama. Ini adalah proses pembelajaran yang salah! Kenapa? Karena dapat menyebabkan pemikiran santri menjadi lengser. Namun dalam hal ini siapa yang pantas disalahkan? Sebagai santri yang mempunyai rasa ta’dzim, hormat, dan patuh kepada figur Kyai tantunya enggan menyalahkan pak Kyai.Singkat kata dari uraian diatas adalah perlunya perubahan proses pengajian dalam pesantren dari yang pasif menjadi aktif, dan dialektif.

PESANTREN DALAM MENGHADAPI ERA GLOBALISASI

Prolog


Satu-satunya institusi pendidikan di Indonesia yang berlabel Islam adalah “pesantren”, Kata ‘pesantren’ sendiri berasal dari kata ‘santri’, “yang dengan awalan pe di depan dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri”. Sebagai lembaga, pesantren dimaksudkan untuk mempertahankan nilai-niali keislaman dengan titik berat pada pendidikan. Pesantren juga merupakan sebuah lembaga pendidikan yang tidak hanya mendidik pada pencerahan akal (kecerdasan emosional) saja akan tetapi juga mendidik terhadap pencerahan jiwa (kecerdasan spritual).pesantren juga merupakan satu-satunya lembaga keagamaan yang “asli produk” Indonesia. 


Sejarah perkembangan pesantren 


Zamakhsyari Dhofier, dalam karyanya ‘Tradisi Pesantren’ menyatakan bahwa untuk berstatus sebagai pesantren di Indonesia harus memenuhi lima persyaratan diantaranya adalah: pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab Islam klasik dan seorang kiyai. Namun banyak juga pesantren yang tidak memenuhi kreteria di atas, walaupun mungkin merupakan unsur dasar komposisi pesantren, Sebagai contoh misalnya, pada tahun 1980-an satu pesantren namanya Pabelan Yogyakarta, menjadi terkenal atas kurikulum modernnya yang mengajarkan ketrampilan- ketrampilan teknis yang bisa dimanfaatkan saat kembali ke desa. Lambat laun seiring dengan berkembangnya zaman dan teknologi, pesantren dituntut untuk tetap eksis dalam menjawab tantangan zaman.maka terjadilah perombakan dalam tubuh pesantren di indonesia. Ada yang sebagian banting setir dan mengubah kurikulum pesantrennya dengan kurikulum umum dengan memasukkan kurikulum umum 70% sedangkan kurikulum agama hanya 3%, dan ada pula yang masih konsist dengan tradisionalnya (salafi).

Pesantren tradisional (salafi) “merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang sangat diperhitungkan dalam mempersiapkan ulama pada masa depan, sekaligus sebagai garda terdepan dalam memfilter dampak negatif kehidupan modern”. Isltilah pesantren tradisional digunakan untuk menunjuk ciri dasar perkembangan pesantren yang masih bertahan pada corak generasi pertamaatau generasi salafi, dan untuk membedakan dengan sejumlah pesantren yang telah melakukan penyesuaian dengan lembaga-lembaga yang mengklaim dirinya sebagai ‘pesantren modern’. Dari satu sisi, pesantren tradisional lebih terkenal atau cenderung mempertahankan pergunaan metode pembelajaran tradisional. Dalam metode ini kiyai aktif dan santri pasif. Secara teknis metode seperti ini bersifat individu. Kiayi sebagai pembaca dan penterjemah, bukanlah sekedar membaca teks, melainkan juga memberikan pandangan-pandangan pribadi, baik mengenai isi maupun bahasnya. Kedua metode ini sering dikritisi sebagai terlalu statis dan tradisional. Atau sebagai metode pembelajaran yang mengharuskan para santri diam dan pasif dan tidak berani berbeda pendapat. Satu kritisi dewasa ini adalah bahwa metode pembelajaran tradisional ini menyababyan para santri “terbiasa berpikir dan melihat sesuatu secara hitam-putih atau benar-salah tanpa ada peluang alternatif”. 


Beda halnya dengan pesantren yang berbasis modern, model pesantren semacam ini lebih mentitik beratkan kegiatan- kegiatan ekstra kurikuler dari pada kegiatan-kegiatan intra kurikuler. Contohnya, pelatihan pramuka, pelatihan pengembangan bahasa dan lain sebagainya. Dalam pesantren ini peran seorang kyai tidak terlalu masuk kedalam kegiatan-kegiatan santrinya akan tetapi ada tangan kanan kyai yang selalu memantau kegiatan santri, biasanya dalam pesantren ini struktur kepengurusannya lebih rapi dibandingkan dengan pesantren tradisional. 
Sistem pembelajarannya pun tergolong berbeda, kalau dalam pesantren tradisional sang kyai yang aktiv, maka kalau dalam pesantren modern sang santri yang dituntut lebih aktiv dari kyainya. 


Pesantren di era globalisasi 

Eksistensi pesantren di tengah pergulatan modernitas saat ini tetap signifikan. Pesantren yang secara historis mampu memerankan dirinya sebagai benteng pertahanan dari penjajahan, kini seharusnya dapat memerankan diri sebagai benteng pertahanan dari imperialisme budaya yang begitu kuat menghegemoni kehidupan masyarakat, khususnya di perkotaan. Pesantren tetap menjadi pelabuhan bagi generasi muda agar tidak terseret dalam arus modernisme yang menjebaknya dalam kehampaan spiritual. Keberadaan pesantren sampai saat ini membuktikan keberhasilannya menjawab tantangan zaman. Namun akselerasi modernitas yang begitu cepat menuntut pesantren untuk tanggap secara cepat pula, sehingga eksistensinya tetap relevan dan signifikan. Masa depan pesantren ditentukan oleh sejauhmana pesantren menformulasikan dirinya menjadi pesantren yang mampu menjawab tuntutan masa depan tanpa kehilangan jati dirinya. Dan kami yakin pesantren akan menjadi satu-satunya institusi ke-islaman yang akan tetap eksis sampai akhir zaman.karena bangsa Indonesia ada karenanya dan tanpanya Indonesia seakan tak bertaring. Karena saya melihat pesantren adalah penyelamat pendidikan di Indonesia. Bravo pesantren…! 


Thursday, 31 March 2011

MODERN DALAM GELOMBANG "JAHILIAH MODERN"

Inilah wajah kampung halaman kita. Telah menjadi kebanggaan syetan-syetan di depan Iblis. Mungkinkah kita lupa! Syetan dan Iblis itu adalah musuh bebuyutan bani adam yaitu seluruh yang berbangsa manusia, lalu kenapa malah sebagian manusia menyembah-nyembah dengan aneka cara dan dengan mengikuti petunjuknya yang menuju ke neraka.
Sekarang ini televisi sudah berani sekali merusak moral bangsa dengan  aneka tayangan. Adegan yang berlabel Islam, namun penuh dengan pengrusakan aqidah Islam bahkan berupa kepalsuan dan penghinaan terhadap syariat Islam. Adegan ciuman dan bahkan lebih  dari itu sudah merupakan menu setiap saat. Belum lagi  VCD  porno (yang menurut mereka karya seni) yang beredar  di mana-mana. Masih ditambah lagi dengan aneka  majalah, tabloid  dan bacaan yang porno lagi menjijikkan plus menyesatkan aqidah.

Semua  itu dijajakan secara terang-terangan dan besar-besaran, bahkan kadang dipampang di dekat Masjid,  rumah  Alloh Subahanahu wa Ta’ala. Kalau dulu zaman jahiliyah orang-orang musyrikin memajang  berhala-berhala  di  sekitar  Ka’bah (berhala-berhala ini umumnya patung-patung orang sholeh),  maka  sekarang  manusia-manusia jahiliyah modern memajang gambar-gambar porno dan tak  sopan  di dekat-dekat  masjid, di pinggir-pinggir jalan, di   tempat-tempat strategis,  dan  di kamar-kamar, bahkan ruang  tamu. Sebagian remaja Islam merasa malu apabila di dalam kamarnya tidak dipajang poster-poster artis, pemain bola dan sebagainya. Para aktifis Islam pun, tidak sedikit yang memajang poster-poster penyanyi-penyanyi ”Islam”, ustadz/ustadzah idola  (sungguh hal yang memilukan hati). Bahkan poster yang tidak sedikit memperlihatkan aurat tersebut, secara sengaja atau tidak sengaja pada hakikatnya secara tidak langsung ataupun langsung telah dijadikan sebuah berhala era modern. Mereka sangat mengelu-elukannya dan memimpikannya.
Sungguh fenomena luar biasa. Benar-benar jahiliyah  modern.  Televisi dan VCD  yang  berisi gambar-gambar porno pun dipajang di kamar-kamar, bahkan kamar tidur. Ini seperti orang-orang musyrikin menyimpan benda-benda yang  dikeramatkan yang dianggap sebagai memberikan keamanan kepada mereka.

Keadaan ini pantas dibanggakan di depan Sang Iblis yang setiap saat menyeleksi syetan-syetan yang melapor padanya atas  dahsyatnya tipu daya yang dilakukan syetan terhadap manusia.
Yang lebih luar biasa lagi adalah sebagian penjahat, artis dan masyarakat bahkan para pejabat berbondong-bondong tunduk di kaki para dukun atau istilah modern-nya paranormal. Sedang para dukun/paranormal makin cengengesan (tertawa  tanpa aturan) dengan aneka paket tipuan. Ada yang membuat istilah pengobatan alternatif, kontak jarak jauh, supranatural, susuk asmara, paranormal ampuh dan aneka macam tetek bengek istilah yang mereka tipukan pada masyarakat. Padahal hakekatnya adalah sama saja, mereka itu adalah biang para perusak bangsa ini.
Sulit diatasi kecuali mengembalikan umat ke jalan Islam yang shohih secara kaffah. Bagaimana tidak sulit, pihak keamanan yang harusnya menjadi pengayom penegakkan kebenaran dan keadilan (Adil dan Benar itukan menurut Alloh bukah menurut manusia atau thoghut) justru ikut-ikutan antri ke dukun, sedang para punggawa sampai pejabat tinggi sudah banyak yang tunduk pada dukun, maka pada dasarnya negeri ini adalah mainan syetan. Karena dukun adalah wali (kekasih, teman komplot) syetan.

Kenapa  syetan-syetan  yang sebenarnya  adalah  musuh manusia itu malah di mintai tolong  untuk menyantet, untuk menghidup suburkan kemaksiatan, untuk menegakkan hukum thoghut,  dan untuk membantu dalam menolak ditegakkannya syari’at Islam?
Bukankah kita masih mengaku sebagai Muslim? Bahkan marah kalau ada yang menyindir seperti; “Saya memakai jilbab karena saya Muslim, saya menutup aurat karena saya Muslim” Lalu lawan bicaranya sedikit sebal dengan berkata “Saya Juga Muslim Bu!!!”

Sadarkah kita!, Selama ini mungkin mulutmu sering jadi corong  syetan. Tangan sering menjadi senjata syetan dalam menggencet muslimin. Otak sering jadi penebar ideologi syetan dalam  menghalangi syari’at Islam. Sedang darah dan daging mungkin memang  dijadikan dari makanan yang dihasilkan bersama-sama syetan atau dengan cara yang dicanangkan syetan. Ini bukan tuduhan, tetapi sekadar mengingatkan, kepada diri saya sendiri dan kepada jama’ah sekalian. Kita ini perlu muhasabah, mengoreksi diri. Kenapa kita  sudah terlalu jauh rusaknya seperti ini.
Kita meminta kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala agar memberi hidayah kepada kita semua dan memberi taufik kepada kaum muslimin seluruhnya, para pemerintah dan rakyatnya untuk kembali ke jalan yang Haq, memerangi syetan dan berhati-hati dari padanya, serta merasa cukup dengan apa-apa yang telah disyariatkan oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya pada segala perkara di muka bumi ini yang sesuai dengan syariat karena Dia-lah yang berkuasa atasnya. Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab

KAJIAN HADITS DIKALANGAN ORIENTALIS

Para pakar berbeda pendapat tentang kapan dan siapa orang barat pertama kali yang mengenal Islam. Ada yang berpendapat bahwa hal itu terjadi pada waktu perang Mu’tah (tahun 8 H) kemudian perang Tabuk (tahun 9) di mana terjadi kontak pertama kali antara orang-orang Romawi dengan kaum muslimin. Sementara pakar lain berpendapat bahwa hal itu terjadi ketika meletus perang antara kaum muslimin dan kaum Nasrani di Andalus (Spanyol), terutama setelah Raja Alphonse VI menguasai Toledo pada tahun 488 H/1085 M. Ada juga yang berpendapat bahwa hal itu terjadi ketika orang-orang Barat merasa terdesak oleh penaklukan Islam, terutama setelah jatuhnya Konstantinopel (Istanbul) pada tahun 857 H/1453 M ke tangan kaum muslimin di mana kemudian mereka memasuki Wina. Orang Barat merasa perlu untuk membendung ekspansi ini, sekaligus mempertahankan eksistensi kaum Nashrani. Sementara itu ada pula pakar yang berpendapat lain.

Namun sejarah mencatat bahwa orang-orang seperti Jerbert de Oraliac (938-1003 M), Adelard of Bath (1070)-1135 M), Pierre le Venerable (1094-1156 M), Gerard de gremona (1114-1187 M), dan Leonardo Fibonacci (1170-1241 M) pernah tinggal di Andalus dan mempelajari Islam di kota-kota seperti Toledo, Cordova, Sevilla. Pulang dari Andalus yang saat itu masih dikuasai oleh umat Islam mereka menyebarkan ilmunya di daratan Eropa. Misalnya Jerbert de Oraliac yang kemudian terpilih sebagai Paus Silvestre II (999-1003) mendirikan dua sekolah Arab di Roma dan Perancis. Bahkan Robert of Cheter (populer antara tahun 1141-1148 M) dan kawannya yang bernama Hermann Alemanus (w.1172 M) setelah pulang dari Andalus, mereka menerjemahkan al-Qur’an atas saran dari Paus Silvestre II.

Penerjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa Latin ini dibantu oleh dua orang Arab dan selesai pada tahun 1143 M. Dan ini merupakan terjemahan al-Qur’an yang pertama dalam sejarah. Nama-nama di atas tercatat sebagai orang-orang Eropa yang pertama kali melakukan kajian tentang Islam yang kemudian lazim dikenal sebagai orientalisme. Prof. Dr. M.M. Azami, Guru Besar Ilmu Hadis di Universitas King Saud, Saudi Arabia, menyatakan bahwa sarjana Barat yang pertama kali melakukan kajian Hadis kemungkinan adalah Ignaz Goldziher, seorang orientalis Yahudi yang lahir di Hongaria dan hidup antara tahun 1850-1921 M.

Pada tahun 1890 ia menerbitkan hasil penelitiannya tentang Hadis Nabawi dalam sebuah buku berjudul Muhammedanische Studien (Studi Islam). Sejak itu hingga sekarang buku ini menjadi kitab suci di kalangan orientalis. Kurang lebih enam puluh tahun setelah terbitnya buku Goldziher, Joseph Schacht juga orientalis Yahudi menerbitkan hasil penelitiannya tentang Hadis dalam sebuah buku berudul The Origins of Muhammadan Jurisprudence. Konon, lebih dari sepuluh tahun ia melakukan penelitian Hadis. Dan sejak itu (tahun 1950 M), buku Schacht ini menjadi kitab suci kedua di kalangan orientalis. Dibanding dengan Goldziher, Schacht memiliki “keunggulan” karena Schacht sampai pada kesimpulan “meyakinkan” bahwa tidak ada satupun Hadis yang otentik dari Rasulullah, khususnya Hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum Islam, sementara Goldziher hanya sampai pada kesimpulan “meragukan” otentisitas Hadis. Setelah Goldziher dan Schacht, kajian Hadis memasuki periode Pasca-Goldziher.

Pada masa ini, para orientalis banyak yang melakukan kajian Hadis. Namun penelitian dan kajian mereka tidak memiliki bobot ilmiah yang signifikan. Kajian dan penelitian mereka lebih merupakan sebagai upaya mengutip pribahasa Arab “yanfukhu fi al-ramad” (meniup arang), yaitu mengulang-ulang kajian yang telah ada sebelumnya.Memburuk-burukkan Islam Orientalisme sejak semula telah memberikan perhatian kepada penyelidikan Hadis. Motivasi perhatian itu dapat dicari pada beberapa factor, antara lain dan yang mungkin terkuat adalah bahwa usaha untuk memburuk-burukkan Islam melalui penelitian Hadis lebih mudah dari pada melalui penelitian al-Qur’an. Adanya keinginan untuk mendiskreditkan Islam ini telah mengakibatkan banyak kekeliruan dalam penyelidikan Hadis hingga saat ini.

Gambaran yang sangat negatif dan prasangka yang berlebihan telah menyesatkan hampir semua kaum orientalis, kecuali beberapa sarjana yang berpikiran jernih dan bersifat obyektif dalam melakukan penyelidikan Hadis. Dan tampaknya baik Ignaz Goldziher maupun Joseph Schacht memiliki sasaran yang sama, yaitu ingin melecehkan Hadis agar ia tidak dapat dipakai sebagai rujukan umat Islam . Keduanya memiliki tesis yang menyatakan bahwa Hadis bukan sesuatu yang otentik dari Rasulullah, melainkan sesuatu yang lahir pada abad I dan II hijri, yang kesemuanya merupakan bikinan ulama. Kiat-kiat Orientalis Dalam rangka mencapai sasarannya, yaitu melecehkan dan menggusur eksistensi Hadis, kaum orientalis melakukan kiat-kiat antara lain sebagai berikut: 

1. Mengubah Teks-teks Sejarah Di antara tokoh-tokoh ulama Hadis yang menjadi incaran pelecehan Goldziher adalah Ibn Syihab al-Zuhri (w. 123 H). disamping dituduhnya sebagai pemalsu Hadis, Goldziher juga mengubah teks-teks sejarah yang berkaitan dengan Ibnu Syihab al-Zuhri, sehingga timbul kesan bahwa al-Zuhri mengakui bahwa dirinya memang pemalsu Hadis. Menurut Goldziher, al-Zuhri mengatakan; Para penguasa itu telah memaksa kami untuk menulis Hadis. Kata ahadits dalam kutipan Goldziher tidak menggunakan “al” yang dalam bahasa Arab menunjukkan sesuatu yang telah definitive (ma’rifah).
Sementara dalam teks yang asli, seperti yang terdapat dalam kitab Ibn Sa’d dan Ibn ‘Asakir, adalah al-ahadits yang berarti Hadis-hadis yang telah dimaklumi ada secara definitif, yaitu Hadis-hadis yang berasal dari Rasulullah. Jadi pengertian ucapan al-Zuhri yang asli adalah bahwa para pejabat atau penguasa itu telah memaksanya untuk menuliskan Hadis-hadis yang pada saat itu sudah ada tapi belum terhimpun dalam satu buku. Sementara pengertian ucapannya dalam kutipan Goldziher adalah bahwa para pejabat itu telah memaksanya untuk menuliskan Hadis-hadis yang pada saat itu belum ada. Dengan kata lain, al-Zuhri dipaksa oleh para penguasa itu untuk membuat Hadis-hadis palsu.

2. Membuat Teori Rekayasa Untuk memperkuat tuduhannya bahwa apa yang dikenal sebagai Hadis adalah bukan berasal dari Rasulullah, tetapi bikinan ulama abad I dan II hijri, Schacht membuat teori tentang rekonstruksi terjadinya sanad Hadis. Teorinya kemudian dikenal dengan nama teori “Projecting Back” (Proyeksi belakang). Menurut Schacht, hukum Islam belum eksis pada masa al-Sya’bi (w. 110 H). Ini artinya bahwa apabila bahwa apabila terdapat Hadis yang berkaitan dengan hukum Islam, maka Hadis-hadis itu adalah buatan orang-orang yang hidup sesudah al-Sya’bi. Schacht berpendapat bahwa hukum Islam baru dikenal semenjak masa pengangkatan para qadhi (hakim agama). Para Khalifah dahulu tidak pernah mengangkat qadhi.

Pengangkatan qadhi baru dilakukan pada masa Dinasti Bani Umayyah. Kira-kira pada akhir abad I hijri, pengangkatan qadhi itu ditujukan kepada “orang-orang spesialis” yang berasal dari kalangan taat beragama. Karena jumlah orang-orang ini bertambah banyak, maka akhirnya mereka berkembang menjadi kelompok aliran fiqh klasik (madzhab). Hal ini terjadi pada awal abad pertama hijri. Keputusan-keputusan hukum yang diberikan pada qadhi memerlukan legitimasi dari orang-orang yang memiliki otoritas yang lebih tinggi. Karenanya, mereka tidak menisbahkan (mengaitkan) keputusan-keputusan itu kepada diri sendiri, melainkan kepada tokoh-tokoh sebelumnya. Misalnya, orang-orang Iraq menisbahkan pendapat-pendapat mereka kepada Ibrahim al-Nakha’i (w. 95 H). Pada perkembangan berikutnya, pendapat-pendapat qadhi itu tidak hanya dinisbahkan kepada tokoh-tokoh terdahulu yang jaraknya masih dekat, melainkan dinisbahkan kepada tokoh-tokoh yang lebih terdahulu, misalnya Masruq. Langkah berikutnya untuk memperoleh legitimasi yang lebih kuat, pendapat-pendapat itu dinisbahkan kepada tokoh yang memiliki otoritas yang lebih tinggi, misalnya Shahabat Abdullah bin Mas’ud. Dan pada ronde terakhir, pendapat-pendapat itu dinisbahkan kepada Nabi Muhammad. Inilah rekonstruksi terbentuknya sanad Hadis menurut Prof. Dr. Joseph Schacht, yaitu dengan memproyeksikan pendapat-pendapat itu kepada tokoh-tokoh di belakang (Projecting Back). Teori rekayasa ini bertujuan untuk memperkuat tuduhannya bahwa apa yang disebut sanad Hadis itu adalah palsu. Begitu pula mantan atau materi Hadisnya, karena kesemuanya adalah ciptaan orang-orang belakangan.

APAKAH MAKNA "TAUBAT" ITU?


Sahabat sekalian, jika jauh di dalam qalbu anda sudah ada ada kebutuhan untuk mencari Allah, ingin tenteram, ingin mengetahui agama lebih baik, atau gelisah mencari kesejatian, maka ketahuilah bahwa Allah masih berkenan memanggil anda untuk bertaubat. Taubat sesungguhnya merupakan panggilan Allah. Manusia sama sekali tidak bisa membuat dirinya sendiri ingin bertaubat. Allah sendirilah yang menumbuhkan keinginan bertaubat di dalam kalbu anda.
Sebagaimana firman-Nya:

“Kemudian Tuhan memilihnya, maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk.” (QS 20:122)
“Barangsiapa menghendaki (kebaikan bagi dirinya) niscaya dia mengambil jalan kepada Tuhannya. Dan kamu tidak akan mempu menempuh jalan itu kecuali bila dikehendaki Allah.” (QS. 76:29-30)
“…Bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat mengendaki (menenempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. 81: 28-29)


Keinginan Taubat

Keinginan taubat itu timbul karena dipilih-Nya. Maka dari itu, jika sekarang dalam hati anda mulai tumbuh kegelisahan makna hidup, atau keinginan kembali kepada-Nya, mulai timbul keinginan akan ketentraman bersama-Nya, mulai ingin mencari jalan-jalan yang mendekatkan diri kita kepada-Nya, Itu adalah panggilan-Nya. Maka sambutlah panggilan-Nya itu.

Jika kemudian mulai tumbuh perilaku kita yang ‘mencari jejak-Nya’, seperti mencari-cari pengajian yang baik, mencari-cari bahan di internet, mulai mencari-cari buku tentang Tuhan dan agama, maka syukurilah. Ini berarti bahwa Dia masih mengingat anda. Dia masih memanggil anda untuk mendekat, untuk pulang kepada-Nya. Dia masih menghendaki anda kembali kepada-Nya. Allah sendirilah yang menumbuhkan keinginan ini dalam hati anda.

Oleh karena itu, janganlah kita sia-siakan kesempatan ini. Jangan abaikan panggilan-Nya ini. Jangan sampai dia merasa panggilan-Nya kita abaikan. Karena sebagaimana kita pun, jika orang yang kita harapkan terus mengabaikan kita, lama-kelamaan kita pun akan melupakan orang itu. Camkanlah, bahwa tidak setiap orang akan dipanggil-Nya. Tidak setiap orang terpilih untuk ditaubatkan-Nya. Sangat sedikit orang yang ditumbuhkan keinginan untuk mulai mencari Allah di dalam hatinya.
Perhatikanlah, bahwa amat banyak orang mencari pengajian dengan niat mencari kawan, mencari kelompok, mencari pengakuan orang lain sebagai ‘orang pengajian’, mencari ketentraman sesaat, meniti karir di partai politik, mencari hapalan dan pengetahuan ayat, mencari bahan diskusi, dan sebagainya. Sangat sedikit, sekali lagi sangat sedikit, orang yang benar-benar mencari pemahaman akan hakikat hidup maupun kesejatian (Al-Haqq). Jika kita tidak mau bertaubat, tidak mengindahkan panggilan-Nya itu, maka kita termasuk orang yang zalim. Definisi ‘zalim’, menurut Al-Qur’an, adalah tidak mau bertaubat.

“Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. 49:11)

Jika panggilan-Nya ini kita abaikan, maka kita akan semakin berputar-putar saja di dunia ini, dan kalbu kita akan semakin buta saja. Oleh karena itu, akan semakin susah sajalah kita memperoleh petunjuk-Nya, ketika kalbu kita menjadi buta.

“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS 20:124)
“Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah qalb-qalb (quluubun) yang ada di dalam dada.” (QS 22:46)



Apakah ‘Taubat’ ?

Apakah ‘taubat’ itu? Taubat bukanlah istighfar. Hanya semata mengucapkan ‘astaghfirullah’, walaupun seribu kali, bukanlah taubat. Sebagaimana qur’an mengatakan:

“Karena itu beristighfarlah kepada-Nya, kemudian bertaubatlah kepada-Nya” (QS. 11:61).

Maka, dari ayat di atas, jelas nampak bahwa Istighfar dan taubat adalah dua hal yang berbeda.
Kata ‘taubat’ berasal dari kata ‘taaba’, artinya ‘kembali’. Taubat adalah sebuah ‘keinginan’, kegandrungan, kebutuhan akan Allah, maupun segala yang dapat membuat kita lebih mengenal-Nya. Oleh karena itu, landasan taubat adalah mencari Allah, mencari kesejatian, mencari hakikat kehidupan ini. Orang bisa saja mengucap istighfar ribuan kali sehari, tapi sama sekali tidak bertaubat.
Orang bisa zikir ribuan kali, dengan niat supaya cerdas, supaya sakti, supaya bisa mengobati, supaya karir bagus, supaya lulus ujian, macam-macam. Rajin shalat malam, supaya berwajah cerah dan cantik. Rajin puasa, supaya sehat, supaya tidak gemuk. Di mana Allahnya? Mungkin Allah kita tempatkan nomor dua atau tiga.
Maka dari itu, pertama sekali, kita murnikan niat kita dahulu. Kita niatkan semuanya hanya untuk kembali kepada-Nya (taubat), supaya semakin diberi-Nya petunjuk bagaimana taubat yang benar itu. Supaya diajari-Nya hakikat kehidupan ini.
Junjungan kita Rasulullah Muhammad Saw mengucapkan do’a berikut ini, yang dibaca setiap kali Beliau selesai berwudhu:

“Allahummaj’alni minat-tawwabiin, waj ‘alni minal muthahhiriin.”
“Ya Allah, jadikan hamba termasuk ke dalam ‘At-Tawwabiin’ (mereka yang bertaubat), dan jadikan hamba termasuk ke dalam ‘Al-Muthahhiriin’ (mereka yang disucikan).”

Bahkan Rasulullah Saw pun masih memohon kepada Allah untuk dimasukkan ke dalam golongan orang yang bertaubat. Bukankah Rasulullah telah suci, bebas dosa, dan telah dijamin surga oleh Allah ta’ala?

Makna ‘Zalim’

Jika kita tidak kembali kepada Allah (taubat), maka termasuk ke dalam golongan orang-orang yang zalim. Definisi ‘zalim’, menurut Al-Qur’an, adalah tidak mau bertaubat.

“Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. 49:11)

Padahal, Allah tidak akan pernah memberikan petunjuk-Nya kepada orang-orang yang zalim. Ketegasan-Nya ini diulang berkali-kali dalam Al-Qur’an, sebagai peringatan supaya kita benar-benar memperhatikan hal ini.

“Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (2:258)”
“Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (5:151)

Demikian pula kalimat yang sama bisa kita temukan pada Q.S. 6:144, 9:19, 9:109, dan 28:50.
Maka dari itu, jika kita tidak bertaubat, tidak berusaha kembali kepadaNya, maka kita akan semakin sesat saja. Bahkan hal ini ditegaskanNya bahwa ia akan menyesatkan mereka yang zalim.

“Dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim (14:27).”

Jika kita tidak bertaubat, kembali pada Allah, maka sudah barang tentu akan semakin jauh saja kita dari petunjuk-Nya. Hidup kita pun dengan sendirinya akan terlempar-lempar dari satu masalah ke masalah yang lainnya saja, jauh dari petunjuk-Nya.

Implikasi Ke’Mahapengampun’an Allah

Kita mengetahui bahwa Allah Maha Pengampun. Tapi, Maha Pengampun terhadap siapa?

“Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal shaleh, kemudian tetap di jalan yang benar.” (QS. 20:82).

Allah Maha Pengampun pada yang bertaubat (saja). Jika kita bertaubat, kembali kepada-Nya, maka barulah asma ‘Maha Pengampun’ ada implikasinya terhadap kita. Jika kita misalnya dikenal sebagai orang yang pemaaf, tentu sifat pemaaf kita tidak ada implikasinya terhadap orang yang tidak kita kenal. Jadi, kepemaafan kita berlaku pada orang tertentu saja, tidak dengan sendirinya pada semua orang.
Demikian pula Allah. Dia Maha Pengampun (hanya) kepada mereka yang bertaubat. Kepada yang tidak bertaubat, walaupun dia dikenal dengan Maha Pengampun, tentunya tidak ada hubungannya. Ke-Maha Pengampunan-Nya tidak ada implikasinya sama sekali kepada mereka yang tidak bertaubat, kepada mereka yang tidak berusaha kembali kepada-Nya.
Jika kita hanya istighfar saja, maka belum tentu Allah Maha Pengampun kepada kita. Tapi jika kita bertaubat, kemudian memperbaiki diri, maka Allah Maha Pengampun kepada kita. Taubat –harus– diikuti dengan memperbaiki diri, supaya taubat kita diterima oleh-Nya.
Demikianlah yang kita lihat pada ayat-ayat berikut ini:

“Maka barangsiapa bertaubat sesudah melakukan kejahatan dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. 5:39)
“Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS 24:5)
“Barangsiapa yang berbuat kejahatan diantara kamu karena kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS 6:54)


Jalaluddin Rumi tentang Taubat

Sebagai penutup tulisan tentang taubat, mari kita hayati penggalan puisi hasil fana Jalaluddin Rumi di bawah ini:
Jika engkau belum mempunyai ilmu, hanyalah prasangka,
maka milikilah prasangka yang baik tentang Tuhan.
Begitulah caranya!
Jika engkau hanya mampu merangkak,
maka merangkaklah kepada-Nya!
Jika engkau belum mampu berdoa dengan khusyuk,
maka tetaplah persembahkan doamu
yang kering, munafik dan tanpa keyakinan;
karena Tuhan, dengan rahmat-Nya
akan tetap menerima mata uang palsumu!
Jika engkau masih mempunyai
seratus keraguan mengenai Tuhan,
maka kurangilah
menjadi sembilan puluh sembilan saja.
Begitulah caranya!
Wahai pejalan!
Biarpun telah seratus kali engkau ingkar janji,
ayolah datang, dan datanglah lagi!
Karena Tuhan telah berfirman:
“Ketika engkau melambung ke angkasa
ataupun terpuruk ke dalam jurang,
ingatlah kepada-Ku,
karena Aku-lah jalan itu.”
Wallahu ‘alam, Semoga bermanfaat.

P.S. : Sebagai pelengkap, silahkan membaca artikel tentang pertaubatan ‘Gelisah Dalam Kehidupan’ di sini.

JUNAIDI Al-BAGHDADI: MAKNA "BERJIHAD DALAM KAMI"

“Dan orang-orang yang berjihad dalam Kami, sungguh, akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah bersama para Al-Muhsiniin (mereka yang ihsan*)” (Q.S. Al-Ankabut [29] : 69)
“Ayat itu bermakna, ‘mereka yang berjuang melawan hawa nafsunya dan bertaubat sungguh-sungguh hanya demi Kami, pastilah akan Kami tuntun mereka pada jalan-jalan yang menyampaikan mereka pada kebenaran (Al-Haqq) ‘. Sesungguhnya tak seorang pun mampu berjuang melawan musuh yang ada di luar dirinya kecuali jika ia pun berjuang melawan musuh-musuh yang ada dalam dirinya.
Maka, siapapun yang dianugerahi kemenangan atas apa-apa yang ada di dalam dirinya, ia pasti akan menang atas lawan-lawannya. Dan siapapun yang dikalahkan oleh apa-apa yang ada di dalam dirinya, musuh-musuhnya pun pasti akan mengalahkannya.”
(Junaid Al-Baghdadi, 830-910 M)
: : : : : : :

* Ihsan lebih dari sekedar bermakna ‘baik’. Apa sebenarnya pengertian ihsan atau muhsin itu? Monggo dibaca di sini

** Al-Muhsiniin adalah mereka yang ke-ihsan-annya sudah tetap.

*** Ayat 29 : 69 dalam terjemahan Depag diinterpretasikan dengan kalimat yang tidak sepenuhnya sesuai dengan kalimat tekstual Qur’an Arabnya (mungkin demi memudahkan pembaca), dengan terjemahan sebagai berikut:

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang yang berbuat baik.”

Memahami Nama ‘Hu’/'Huwa’: DIA YANG TAK BISA DILIPUTI NAMA

A. Sebutan Tuhan

Sahabat-sahabat, kadang kita terlalu cepat ‘memagari diri’ dari istilah-istilah yang kita anggap tidak berada dalam domain yang sama dengan agama kita. Terlalu cepat ‘mengkafirkan’. Bukan mengkafirkan orang lain, tapi mengkafirkan bahasa (lain). Dengan memagari diri seperti ini, apalagi dengan didahului prasangka, maka dengan sendirinya kita akan semakin sulit saja memahami hikmah kebenaran yang Dia tebarkan di mana-mana.
Padahal, dalam Qur’an pun Allah menjelaskan bahwa beragam bahasa adalah tanda dari-Nya juga.
“Dan diantara ayat-ayatnya ialah menciptakan langit dan bumi, dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat ayat-ayat bagi orang-orang berilmu (’Alimiin).” Q.S. 30 : 22.
Jika ada orang menyebut tuhannya sebagai Yehovah, Eloh, Eloheim, atau Adonai, mekanisme dalam pikiran kita mendadak seperti mencipta imaji-imaji bahwa ada banyak tuhan yang sedang berjejer, sesuai urutan sesembahan yang ada sepanjang masa. Ada tuhan yang disebut Yehovah, Eloheim, Jahveh, Brahma, Manitou, Zeus, Allah, Tuhan Alah, dan lain sebagainya. Sedangkan yang kita sembah adalah yang disebut Allah, yang lainnya bukan, dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan Tuhan kita dan agama kita. Pokoknya thoghut, atau kafir.
Benarkah begitu? Bukankah Tuhan hanya satu? Bukankah ‘Laa ilaaha Ila’Llah’ artinya tiada Tuhan selain Allah? Wallahu ‘alam, meski saya mengerti bahwa Tuhan hanya satu, tapi saya belum mengetahui secara total makna lahiriyah maupun batiniyah dari kalimat syahadat itu. Tapi setidaknya, bukankah cara berfikir yang seperti tadi juga berarti bahwa tanpa sadar pikiran kita telah menyejajarkan Dia dengan selain-Nya? Atau, secara halus dan tersamar sekali, itu artinya kita masih mengakui bahwa ada banyak entitas dalam satu himpunan tuhan, dan Allah adalah salah satu dari yang ada dalam himpunan itu. Bukankah itu keterlaluan?

Istilah ‘Allah’ sudah ada sejak sebelum Al-Qur’an turun. Sebelum junjungan kita Rasulullah menerima wahyunya yang pertama, bangsa Arab sudah menggunakan kata- kata ‘demi Allah’ jika mengucapkan sumpah. Hanya saja, mereka juga sering menyebut nama patung-patung mereka, ‘demi Lata’ atau ‘demi Uzza’, ‘demi punggung istriku’, atau bahkan ‘demi kuburan ibuku’, dalam sumpah mereka.
Kapan istilah ‘Allah’ pertama kali dikenal manusia? Tidak tahu persis. Diperkirakan tidak akan jauh dari periode kemunculan agama Islam yang dibawa Rasulullah di tanah Arab. Tapi apakah berarti, pada periode sebelum itu, Allah diam saja di langit sana, dan tidak memperkenalkan diri-Nya? Rasanya kok tidak demikian ya. Saya suka bertanya-tanya, misalnya dengan nama apa Allah mengenalkan diri-Nya pada nabi Ya’kub as dan nabi Musa as, nabi bangsa Bani Israil? Karena pada kenyataannya, bangsa yahudi sekarang tidak menyebut nama-Nya dengan sebutan ‘Allah’ yang sesuai dengan bahasa Arab.

Kitab suci dari Allah yang kita kenal ada empat: Taurat, Zabur, Injil, dan kitab penutup dan penyempurna semuanya, Al-Qur’an. Taurat, atau Torah, turun kepada Nabi Musa as. Karena Musa adalah orang Bani Israil, tentu kitab yang turun pun berbahasa mereka, Ibrani. Demikian pula Zabur, Injil, dan Al-Qur’an. Semua turun dan disampaikan dengan bahasa penerimanya.

Jadi, apakah salah jika orang yang kebetulan beragama lain, menyebut nama Allah dengan nama yang turun pada bahasa kitab mereka? Apakah itu Tuhan yang lain? Belum tentu. Sekali lagi, kita tidak boleh terlalu cepat ‘mengkafir-kafirkan’, termasuk mengkafirkan bahasa dan istilah. Ada banyak sekali irisan kemiripan bahasa-bahasa agama dalam sejarah. Sebagai contoh, nama ‘Allah’, sangat mirip dengan ‘Eloh’. Dalam kitab-kitab Ibrani, Tuhan disebut sebagai ‘Eloheim’. Dari asal kata ini, kita mengerti misalnya arti kata ‘betlehem.’ Dari asal katanya, Bethel dan Eloheim. ‘Bethel’ bermakna rumah, dan ‘Eloheim’ adalah Allah. Rumah Allah. Jika demikian, apa bedanya kata ‘Betlehem’ dengan ‘Baytullah’?
Juga ‘Yehova’ atau ‘Yahwe’, sangat mirip dengan ‘Ya Huwa’, Wahai Dia (yang tak bernama). Yang agak ‘mencurigakan’, adalah inti ajaran Socrates, ‘Gnothi Seauthon’, yang artinya adalah ‘Kenalilah Dirimu.’ Dari segi makna, ini sangat mirip dengan inti hadits yang sering diulang-ulang oleh para sahabat Rasulullah maupun para sufi terkemuka, ‘man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa Rabbahu,’ mereka yang ‘arif tentang dirinya, akan ‘arif pula tentang Rabb nya.’ Esensinya sangat mirip: mengenal diri. Dan sebuah fakta yang tak kalah menariknya, sejarah mencatat bahwa Socrates adalah guru dari Plato, Plato guru dari Aristoteles, dan Aristoteles adalah guru dari Alexander of Macedon. Sosok yang terakhir ini oleh sebagian ahli tafsir disamakan dengan Iskandar Dzulqarnayn, sosok panglima yang namanya diabadikan dalam Al-Qur’an.

Saya tidak sedang mengatakan bahwa semua tuhan sama saja, yang berbeda hanya namanya. Atau dewa pada tiang totem yang disembah bangsa indian apache adalah Allah juga. Bukan begitu. Saya hanya mengatakan bahwa kita sebaiknya jangan terlalu ‘alergi’ dengan kata-kata agamis dari agama lain. Kita harus berhati-hati sekali untuk ‘mengkafirkan’ istilah. Sebab kalau ternyata salah, maka artinya kita ‘mengkafirkan’ sebuah hikmah atau sebuah tanda dari-Nya. Maka kita akan semakin jauh saja dari kebenaran.
Bukankah Allah pasti menyebarkan jejak-Nya di mana-mana, sepanjang zaman? Dan jangan berfikir bahwa Allah hanya pernah dan hanya mau ‘muncul’ di agama kita saja. Ini berarti kita, sebagai makhluk, berani-berani menempatkan Allah dalam sebuah himpunan, ke sebuah konsep di dalam kepala kita. Himpunan deretan tuhan, atau himpunan kelompok agama.
Allah adalah Tuhan. La Ilaha Ilallah. Dia ada di luar himpunan apapun. Dia tak beragama, dan tidak memeluk agama apapun. Karena itu, kita jangan berfikir, baik sadar maupun tidak, bahwa Allah ‘beragama Islam’.
Agama diciptakan-Nya sebagai jalan untuk memahami-Nya, memahami kehidupan, dan memahami diri ini. Segala sesuatu Dia ciptakan dan Dia akhiri. Maka Allah adalah sumber dan akhir segalanya. Dua asma- Nya adalah ‘Al-Awwal’ dan ‘Al-Akhir’. Ini pun sebuah kebetulan yang menarik, karena bangsa Yunani kuno, bangsanya Socrates dan Plato, eyang guru dari Alexander tadi, juga menyebut salah satu nama yang dimiliki Tuhan mereka sebagai ‘Alpha Omega’, berarti ‘Yang Awal dan Yang Akhir’ (Alpha = Alif = huruf awal dalam alfabet yunani dan arab, simbol ‘awal’; sedangkan Omega = huruf terakhir dalam alfabet yunani, simbol ‘akhir’). Kemiripan yang sangat menarik, ya?

B. Asma-asma Allah.

Allah, adalah sebuah zat, sebuah entitas, yang tertinggi. Tak terbandingkan, tak terukur, tak terperi. Lalu apakah kita, sebagai makhluk, memungkinkan untuk menempatkan Dia ke dalam kepala kita, menaruhnya ke dalam sebuah konsep ‘nama’? Tentu tidak. Dia, secara utuh, secara menyeluruh, secara real, sesungguhnya tak bernama. Tak ada apapun yang bisa membungkus-Nya, termasuk sebuah nama.
Lalu untuk apakah, atau nama-nama siapakah, yang berjumlah sembilan puluh sembilan sebagaimana diperkenalkan dalam Al-Qur’an, dan disusun sebagai ‘asma’ul husna’? Nah, itu adalah bukti begitu penyayangnya Dia pada makhluknya yang satu ini, manusia.
Penjelasannya begini. Dia Yang Tertinggi jelas tak mungkin dibungkus atau terliputi oleh apapun, termasuk sebuah nama. Tapi Dia bersedia ‘menurunkan derajat-Nya’ demi supaya lebih dimengerti oleh manusia. Maka Dia memperkenalkan diri-Nya, bagi mereka yang ingin mengenal-Nya di tahap awal, dengan memisalkan dirinya dengan nama-nama sifat manusia. Memisalkan diri-Nya dengan nama-nama yang memungkinkan untuk dideskripsikan dalam bahasa manusia.
Ambil contoh, Ar-Rahmaan (Maha Pengasih) atau Ar-Rahiim (Maha Penyayang). Kita bisa memahami makna dua kata ini, karena nama sifat-sifat ini, pengasih dan penyayang, adalah nama sifat yang juga ada pada manusia. Tapi dari segi makna, kedua kata ini dalam memperkenalkan nama sifat-Nya sebenarnya telah mengalami degradasi makna yang amat sangat.
Maha Pengasih, atau Ar-Rahmaan, adalah ‘hanya’ bahasa manusia yang paling memungkinkan untuk menggambarkan salah satu sifat-Nya. Tapi kedalaman makna istilah ini telah berkurang jauh sekali, karena Dia, yang Tak Terperi, memisalkan diri-Nya dengan istilah manusia yang jelas tak memadai untuk melukiskan diri-Nya yang tak terbatas. Dalam asma’ul husna, misalkan istilah ‘Ar-Rahim’, sebenarnya ‘hanya’ merupakan sebuah istilah yang masih memungkinkan untuk bisa terpahami oleh manusia. Sifat Penyayang-Nya yang asli, yang real, yang tidak bisa dimisalkan dengan bahasa manusia, adalah jauh, jauh, jauh lebih penyayang lagi, melebihi apa yang tergambar pada sepotong kata ‘Ar-Rahim’.
Demikian pula untuk ke-98 asma asma Allah yang lain. Semua nama-nama tersebut, sebenarnya mengalami degradasi makna yang sangat jauh dari aslinya, demi supaya terpahami oleh kita, manusia. Sifatnya yang asli, tak terkira jauhnya melebihi apa yang mampu tergambarkan oleh sepotong kata dalam bahasa kita, manusia.
Allah telah berkenan ‘merendahkan diri-Nya’ ke dalam nama sifat-sifat manusia, yang jauh, jauh lebih rendah dari kedudukan-Nya yang asli. Ia bersedia dipanggil dengan bahasa kita. Ini sebuah bukti kasihsayang-Nya yang amat sangat. Bisakah kita membayangkan, misalnya ada seorang raja yang kerajaannya mencakup lima benua, lalu bersedia turun berjalan di pasar kumuh dan mau dipanggil dengan bahasa pasar, seperti ‘Lu’, ‘Sia’, atau ‘Kowe’? Raja tentu akan sangat murka. Tapi Dia, Allah, tidak. Meskipun Dia Maha Tinggi kedudukannya, tapi Dia bahkan bersedia memperkenalkan diri-Nya lebih dahulu (!), dan membahasakan diri-Nya dengan bahasa manusia, dan mencontohkan asma-Nya dengan sifat manusia.
‘Dia’ yang asli, sesungguhnya tidak bernama. Lalu istilah ‘Allah’ itu apa? Istilah itu ‘hanyalah’ bagian dari asma’ul husna, pada urutan yang pertama.
Istilah ‘Allah’, menurut seorang ahli hikmah, sebenarnya sebuah simbol juga. Menurutnya, istilah ‘Allah’, yang terdiri dari:
‘alif’, ‘lam’, ‘lam’ dan ‘ha’,
sesungguhnya merupakan singkatan dari kata bahasa Arab:
‘Al/Alif - li - li - hu/huwa’.

‘Al’ dalam bahasa Arab bermakna kata ganti tertentu, maknanya sama seperti ‘The’ dalam bahasa Inggris, atau seperti ‘El’ dalam bahasa Ibrani dan bahasa Spanyol. Maknanya, katakanlah, ’sesuatu’. Huruf ‘Alif’ bermakna ’sesuatu yang tegak’, ‘Allah’, atau bisa juga ‘yang mengawali’, mirip seperti alpha dalam aksara Yunani. Kata ‘Li’ dalam bahasa Arab bermakna ‘bagi sesuatu’, dan dalam lafaz ‘Allah’ kata ini diulang dua kali. Sedangkan ‘hu’ atau ‘huwa’ bermakna ‘Dia’.
Jadi lafaz ‘Allah’, kata yang di dalam Al-Qur’an paling sering dipakai-Nya untuk menyebut diri-Nya, sebenarnya sama sekali tidak mencakup keseluruhan zat-Nya. Lafaz ‘Allah’ sebagai simbol, sebenarnya justru mempertegas bahwa ‘Dia’ adalah tak bernama. Mengapa demikian? Karena jika makna ini dibaca secara keseluruhan, maka “Al, li, li, hu” kurang lebih maknanya adalah ‘Sesuatu, yang baginya diperuntukkan, dan sesuatu ini diperuntukkan, untuk Dia.” Jadi artinya secara sederhana adalah, ‘(simbol) ini diperuntukkan, dan permisalan ini diperuntukkan, untuk Dia (yang tak bernama).”
Dia yang asli, sebagai zat (entitas), sama sekali tak bisa diliputi oleh sebuah nama.

C. Hadits Rasulullah yang mengandung simbol serupa.

Kalau kita teliti dalam memperhatikan hadits berikut ini, kita akan mengerti bahwa Rasulullah bukan orang yang berkata dengan ‘pendapatnya sendiri’. Orang dalam tingkatan maqam seperti Rasulullan saw., tentulah setiap tindak tanduk dan perkataanya sudah sepenuhnya dalam bimbingan Allah swt. Tampak dari demikian akuratnya simbol-simbol yang digunakan, meskipun jika kita baca secara sepintas hadits ini sangatlah sederhana dan tidak bermakna dalam. Hanya kalau kita teliti, betapa dalam dan akuratnya simbol yang Beliau gunakan dalam kata- katanya.
Kita lihat hadits berikut ini:
Diriwayatkan dari riwayat Abu Hurairah ra.:
Para sahabat bertanya kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, apakah kami dapat melihat Tuhan kami pada hari kiamat?”
Rasulullah saw. bersabda, “Apakah kalian terhalang melihat bulan di malam purnama?”
Para sahabat menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah.”
Rasulullah saw. bersabda, “Apakah kalian terhalang melihat matahari yang tidak tertutup awan?”
Mereka menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah.”
Rasulullah saw. bersabda, “Seperti itulah kalian akan melihat Allah. Barang siapa yang menyembah sesuatu, maka ia kelak mengikuti sembahannya itu. Orang yang menyembah matahari mengikuti matahari, orang yang menyembah bulan mengikuti bulan, orang yang menyembah berhala mengikuti berhala.”
[H. R. Muslim no. 267]
Sepintas, hadits ini hanya berisi tentang melihat Allah di hari kiamat. Tapi kalau kita teliti lebih jauh perumpamaan yang digunakan dengan kacamata ilmu astronomi yang pada saat Rasul mengatakan hadits tersebut ilmu ini belum semaju sekarang, sebenarnya hadits ini juga menjelaskan bahwa ada bagian dari ‘Dia’ yang tak akan bisa kita kenali. Kita cermati perumpamaan bulan purnama yang dipakai beliau dalam hadits ini.
Sebagaimana kita tahu, pada saat bulan purnama di langit malam yang cerah, kita bisa melihat bulan ’seluruhnya’. Kata seluruhnya ini saya beri tanda kutip, karena memang ’seluruhnya’ itu semu. Kita melihat –seakan-akan– bulan tampak seluruhnya dari mata kita. Kita, saat itu, seakan-akan bisa ‘mengenal’ bulan seluruhnya.
Nah, di zaman modern ini, kita tentu mengetahui bahwa bulan adalah sebuah ’satelit,’ sebuah planet kecil yang mengelilingi bumi. Periode waktu rotasi bulan, sama persis dengan periode lamanya bulan mengelilingi bumi. Jadi, permukaan bulan yang menghadap bumi setiap saat adalah sisi yang sama persis, yang itu-itu saja. Tidak berubah.
Demikian pula, ada sisi lain di balik bulan yang akan selalu tidak tampak dari bumi, yang setiap saat akan selalu membelakangi bumi, tidak akan pernah terlihat dari bumi. Dengan kata lain, jika kita berdiri di sisi bulan yang terlihat dari bumi, maka meski bulan berotasi sambil terus mengorbit mengelilingi bumi, kita akan selalu terlihat dari bumi. Sebaliknya, jika kita berdiri di sisi bulan yang tidak terlihat dari bumi, maka kita tidak akan pernah terlihat dari bumi pula.
Gambar jelasnya seperti ini:

Inilah sebabnya, sejak zaman manusia pertama ada hingga sekarang, permukaan bulan yang tampak dari bumi kelihatannya tak pernah berubah, karena sisi yang menghadap bumi senantiasa merupakan sisi yang sama. Di hadits ini, Rasul memisalkan Allah sebagai bulan purnama. Bulan, sebagaimana telah dijelaskan tadi, hanya ada satu sisi yang bisa terlihat oleh kita. Jadi, secara tersirat dalam hadits tadi, Rasulullah juga menjelaskan bahwa sesempurna- sempurnanya pengenalan seseorang akan Allah (seperti orang yang telah mencapai maqam para sahabat Beliau itu), sebenarnya barulah satu sisi dari Dia saja. Sisi yang memang Dia hadapkan sepenuhnya kepada manusia. Sisi inilah yang dalam bahasa agama disebut sebagai Wajah-Nya.
Tapi sampai kapan pun, akan tetap ada sisi lain dari Dia yang tidak akan pernah terpahami oleh manusia (karena Dia sesungguhnya Maha Tak Terbatas). Dan keseluruhan ‘Dia’ secara utuh, yang bisa dikenali dan yang tidak, dalam bahasa agama disebut Zat-Nya,” atau entitas-Nya, secara keseluruhan.
Jadi sekarang kita bisa lebih memahami, jika dalam Al-Qur’an atau doa yang diajarkan Rasulullah mengandung kata-kata ‘wajah Allah’ atau ‘wajah-Nya (wajhahu)‘, maka itu bukan berarti bahwa Dia memiliki wajah di depan kepala seperti kita. Itu maknanya adalah, konteks ‘Dia’ dalam kalimat itu adalah pada sisi yang masih bisa kita kenali. Sedangkan Zat-Nya yang utuh tidak akan pernah bisa kenali.
Mengenai zat-Nya, Al-Qur’an sendiri cukup menerangkan seperti ini:
“…laysa kamitslihi syay’un”

“… dan tiada sesuatupun yang bisa dijadikan permisalan untuk Dia.” (QS. 42 : 11)
Rasul melarang manusia memikirkan zat-Nya, dalam sabdanya, “Berfikirlah kalian tentang makhluk Allah, dan jangan sekali-kali berfikir tentang zat-Nya, sebab kalian akan binasa.” Bahkan Beliau sendiri pun mengakui bahwa dirinya tidak memahami ‘Dia’ dalam konteks zat, sebab dalam sabdanya Beliau menjelaskan, “sesungguhnya aku adalah orang yang bodoh dalam ihwal zat Tuhanku.”

Kembali pada contoh bulan di atas. Bulan, sesuai periode edarnya, akan tampak dari bumi bermacam-macam bentuknya, mulai dari bulan hitam (bulan tak tampak), bulan hilal, bulan sabit, bulan setengah, hingga bulan purnama. Sebenarnya demikian pula pengenalan manusia kepada Allah ta’ala. Ada yang tidak mengenal sama sekali (bulan hitam), ada yang pengenalannya setipis hilal, ada yang pengenalannya seperti bulan setengah, dan ada pula yang pengenalannya terhadap Allah telah ‘purnama’. Namun demikian, sebagai zat tetap saja Dia tidak akan pernah terpahami sepenuhnya oleh manusia, karena Dia adalah Maha Tak Terbatas.

Dari sini saja, kita bisa mengerti bahwa faham panteisme, atau menyatunya Tuhan dan manusia sebagaimana yang dituduhkan kepada kaum sufi, adalah tidak tepat. Tentu mustahil sesuatu yang tak terbatas bisa terlingkupi oleh sesuatu yang terbatas.
Agaknya yang dituduhkan pada kaum sufi sebagai panteisme atau penyatuan, sebenarnya yang terjadi adalah ’sirna kediriannya’. Contohnya seperti cahaya lilin yang akan lenyap cahayanya jika diletakkan di bawah cahaya matahari. Ini masih perlu kita kaji lebih lanjut. Atau paling tidak, agaknya tidak semua sufi meyakini panteisme. Seperti kata teman saya: “Sufi, pantheisme? Sufi yang mana dulu, nih?”

Sekarang, dari cara Rasulullah memberikan contoh pada dalam hadits di atas, kita bisa lebih mengerti kira-kira sedalam apa akurasi hikmah dari kata-kata seseorang jika telah ada dalam tingkatan maqam seperti junjungan kita Rasulullah Muhammad saw. Tentu beliau tidak asal ambil contoh saja, seperti ketika kita sedang berusaha menerangkan sesuatu kepada orang lain. Sekarang semakin jelas pula bahwa segala sesuatu dari diri Beliau telah ditetapkan dalam bimbingan Allah ta’ala, bahkan sampai hal ’sepele’ seperti mengambil contoh yang tepat ketika menerangkan sebuah persoalan.

Juga sebagaimana hadits Rasulullah tadi, segala sesuatu dalam ciptaan-Nya pun tidaklah semata-mata hanya sebagaimana yang tampak dari luar. Allah tentu tidaklah sesederhana itu. Seperti hadits tadi, segala sesuatu juga mengandung makna batin. Alam semesta, bulan, bintang, batu, hewan, tumbuhan, manusia, syariat (ada syariat lahir dan tentu ada syariat batin), dan lain sebagainya. Sedalam apa seseorang melihat maknanya, tentu sangat tergantung pada kesucian qalbnya, sarana untuk menerima ilmu dari-Nya.

Kini kita bisa sedikit lebih mengerti pula, seperti apa kira-kira kesucian qalb Rasulullah saw, jika kata-kata Beliau mampu menyederhanakan kandungan makna yang sedalam itu (itupun baru yang bisa kita ungkapkan) dalam kesederhanaan simbol-simbol yang sangat akurat.
Kalau Al-Qur’an? Lebih tak bisa kita bayangkan lagi seperti apa sesungguhnya kedalaman kandungan makna Al-Qur’an.
Semoga bermanfaat,

Golongan Yang Selamat Dalam Islam: Golongan Mana?


GOLONGAN YANG SELAMAT DALAM AL-QUR’AN

Orang sekarang ini dengan mudah mengklaim golongan dan jamaahnya sebagai golongan dan jamaah yang selamat. Selain pengikut jamaahnya adalah sesat dan tidak selamat. Karena hal ini, banyak orang yang “kebingungan dalam beragama”, dan sangat mungkin akan timbul pertanyaan dalam diri kita: “Siapakah seseungguhnya golongan yang selamat itu?”
Dalam Surat al Fathihah, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa manusia terbagi atas tiga golongan saja, yaitu:
1. Golongan yang berada di Shiraath al Mustaqiim.
2. Golongan yang Dimurkai.
3. Golongan yang Sesat.
Mengacu kepada ayat tersebut sesungguhnya sangat jelas sekali, bahwa golongan yang selamat adalah mereka yang berada di Shiraath al Mustaqiim. Mereka adalah orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah Ta’ala, yang dijelaskan dalam (QS 4:69), bahwa:
“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: An-Nabiyyin, Ash-Shiddiiqiin, Asy-Syuhadaa (QS 57:19) dan Ash-Shalihiin (QS 19:9). Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS. 4:69)”
Tapi pertanyaannya, di masa ini, kelompok yang manakah yang sedang berada di atas Shirat Al-Mustaqiim itu? Kita akan membahas ini di akhir artikel.


SHIRATH AL-MUSTAQIIM

Banyak orang menganggap bahwa Shiraath Al-Mustaqiim ini ‘abstrak’ dan hanya akan dapat ditemui di akhirat. Dalam Al Qur’an Shiraath Al Mustaqiim dijelaskan sebagai:

1. Ad-Diin (Agama) yang tegak

Ketika seorang beragama, dan dalam pelaksanaan agamanya ia belum berada di atas Shirath Al Mustaqiim, sesungguhnya agamanya itu belum tegak (hakiki).
“Dan apabila ia telah berada di atas Shirath Al Mustaqiim, maka sesungguhnya diin dalam dirinya telah tegak.” (QS 6:161)
Shiraath akar katanya berarti tertelan (menurut Quraish Shihaab), Al Mustaqiim berarti adalah orang yang berada dalam keadaan istiqamah (mantap/konsisten). Artinya, orang yang berada di Shiraath Al Mustaqiim, adalah orang yang telah tertelan dalam keistiqamahan kepada jalan Allah. Tidak akan lagi bergeser kepada kekufuran.
Orang yang berada di atas Shirath Al Mustaqiim dijaga oleh Allah Ta’ala dari mengarah kepada kesalahan, dimana penjagaannya bagaikan dipegangnya ubun-ubun binatang melata. (lihat Q.S 11:56). Dan sesungguhnya Allah Ta’ala yang menjaga Shiraath Al Mustaqiim (lihat Q.S 15:41).

2. Jalan Orang yang Diberi Nikmat

Karena orang-orang yang berada di atas Shirath Al Mustaqiim, dijaga oleh Allah Ta’ala dari kesalahan, maka mereka inilah orang-orang yang diberi nikmat. (Q.S 1:7)
Untuk itu nikmat disini bukanlah sekedar nimat kesehatan, nikmat harta benda, dsb. Tetapi jauh lebih besar dari itu, adalah nikmat dijaga oleh Allah Ta’ala dari segala kesalahan dan hidup bersama Allah Ta’ala, karena Allah Ta’ala pun berada di atas Shiraath Al Mustaqiim (Q.S 11:56).

3. ‘Jalan’ Allah

Orang yang selamat hanyalah mereka yang berada di atas Shiraath al Mustaqiim. Shiraath al Mustaqiim inilah sesungguhnya merupakan ‘jalan’ Allah.
Ibnu Mas’ud meriwayatkan, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam membuat garis dengan tangannya lalu bersabda, ‘Ini Shiraath al Mustaqiim’. Lalu beliau membuat garis-garis di kanan kirinya, kemudian bersabda, ‘Ini adalah jalan-jalan yang sesat tak satupun dari jalan-jalan ini kecuali di dalamnya terdapat setan yang menyeru kepadanya. Selanjutnya beliau membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,Dan bahwa ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan oleh Allah kepadamu agar kamu bertakwa.’ (QS [6] : 153)” (Hadits shahih riwayat Ahmad dan Nasa’i)

MENUJU SHIRATH AL-MUSTAQIIM

Untuk menuju Shiraath al Mustaqiim, Allah Ta’ala telah dengan jelas menginformasikan kepada kita tentang prosesnya di al Qur’an. Media Allah Ta’ala membimbing seorang manusia menuju Shiraath Al Mustaqiim adalah dengan petunjuk-Nya.
Petunjuk Allah Ta’ala ada 2 (dua) jenis: (1) Petunjuk Umum dan (2) Petunjuk Khusus.
Petunjuk Umum, adalah Al Qur’an yang merupakan petunjuk untuk seluruh manusia. Sedangkan Petunjuk Khusus, adalah petunjuk yang Allah Ta’ala turunkan kepada manusia secara individual, orang perseorangan langsung ke dalam qalbunya.
Petunjuk khusus ini akan Allah Ta’ala turunkan apabila seorang manusia menjalankan substansi nilai-nilai yang dipandu dalam Petunjuk Umum. Tahapan-tahapan ini dijelaskan dalam ayat berikut:
“Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke Subulussalam, (jalan-jalan keselamatan) dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke Shiraath al Mustaqiim.” (Q.S. 5:16)


Sayangnya kebanyakan manusia –karena ia tidak merasakannya- memungkiri bahwa sesungguhnya manusia dapat menerima petunjuk langsung dari Allah Ta’ala melalui qalb-nya. Mereka menganggap bahwa yang bisa menerima petunjuk langsung dari Allah Ta’ala hanyalah para Nabi, dan hal itu telah tertutup dengan khatamnya para Nabi. Padahal ayat-ayatnya sudah demikian jelas di al Qur’an.
“Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk langsung kepada qalbunya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q. S. 64:11)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shaleh, mereka diberi petunjuk oleh Rabb mereka karena keimanannya.” (Q.S. 10:9)
Dan sesungguhnya apabila kita tidak termasuk dalam golongan yang mendapat petunjuk Allah kepada Shiraath al Mustaqiim, niscaya kita hanya akan termasuk ke dalam golongan yang sesat.
“Sesungguhnya jika Rabbku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.” (Q.S. 6:77)
Untuk terpimpin kepada Shiraath Al Mustaqiim, syaratnya adalah mampu mendapat petunjuk langsung dari Allah ta’ala, dan syarat untuk mendapat petunjuk langsung itu adalah iman.
Namun iman yang bagaimana? Apakah iman yang sekedar definisi-definisi dan dalil-dalil? Jawabannya adalah “Bukan!”.
Iman yang menjadi syarat seorang mendapat petunjuk dari Allah Ta’ala, adalah iman yang berupa cahaya (nur iman), yang Allah Ta’ala anugerahkan kepada manusia sebagai rahmat (pertolongan)-Nya untuk mensucikan qalb-nya.
“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman).” (Q.S. 2:257)
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya, yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kami. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. 57:28)
Dan bagaimana sesungguhnya untuk mendapatkan cahaya iman tersebut? Allah berkata, syaratnya adalah Islam.
“Orang-orang Arab itu berkata: “Kami telah beriman”. Katakanlah (kepada mereka):” Kamu belum beriman, tetapi katakanlah ‘kami islam’, karena iman itu belum masuk ke dalam qalbumu.” (Q.S. 49:14)
Dari ayat di atas, dapat kita cermati bahwa mereka yang ber-islam tidak serta merta langsung menjadi beriman. Mereka yang Islam bisa jadi belum beriman, karena Islam dan Iman merupakan dua tahap yang berkelanjutan/sekuensial.
“Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah qalb-nya (untuk) ber-Islam lalu ia mendapat cahaya dari Rabbnya (sama dengan orang yang membatu hatinya)?” (QS. 39:22)
Namun Islam, bukanlah sekedar “formal Islam”- nya, tetapi lebih dalam dari itu adalah menjalankan substansinya, yaitu: penyerahan diri kepada Allah. (Catatan: Islam secara dasar kata berarti berserah diri). Dan inilah sesungguuhnya substansi dasar ajaran Ilahiyah yang termaktub dalam al Qur’an.

PESAN UTAMA AJARAN ILAHIYYAH

Allah Ta’ala mengutus setiap utusannya, sejak zaman Adam as sampai Nabi Muhammad SAW, adalah untuk menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah Ta’ala. Lihatlah ayat-ayat Al Qur’an berikut ini:
Nuh A.S
“Jika kamu berpaling (dari peringatanku), aku tidak meminta upah sedikitpun daripadamu. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka, dan aku (Nuh A.S) disuruh supaya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri (kepada-Nya)”. (Q.S. 10:72).
Ibrahim A.S
“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik”. (Q.S. 3:67).
Musa A.S
“Berkata Musa: “Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah diri“. (Q.S. 10:84).
Ya’qub A.S
“Dan Ya’qub berkata:”Hai anak-anakku janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlain-lain; namun demikian aku tiada dapat melepaskan kamu barang sedikitpun daripada (takdir) Allah. Keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah; kepada-Nyalah aku bertawakal dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakal berserah diri“. (Q.S. 12:67).
Sulaiman A.S
“Berkatalah Balqis:”Ya Rabbku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Rabb semesta alam”. (Q.S. 27:44).
Isa A.S
“Aku (Isa A.S) tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku yaitu:”Sembahlah Allah, Rabbku dan Rabbmu”, dan adalah aku menjadi saksi (syahiidan) terhadap mereka”. (Q.S.5 :117).
“Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka berkatalah dia:”Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk Allah” Para hawariyyin menjawab:”Kamilah penolong-penolong Allah. Kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri.” (Q.S. 3:52).
Muhammad SAW
“Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu baginya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku (Muhammad SAW)adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. (Q.S. 6:162-163)
“Katakanlah: “Sesungguhnya aku diperintah supaya aku menjadi orang yang pertama kali menyerah diri (kepada Allah)”. (Q.S. 6:14)
Penyerahan diri kepada Allah dengan sepenuh hati dimana seluruh aspek kehidupan diperuntukkan untuk Allah (yang mempunyai 99 asma) semata, merupakan pesan utama ajaran ilahiyah. Sehingga disampaikan oleh para utusan- Nya setiap zaman.
Berserah Diri dengan tulus ikhlas dalam setiap aspek adalah kondisi dimana seseorang bersedia diatur sepenuhnya oleh Allah (menjadi budak Allah Ta’ala), tidak mengatur dirinya sendiri dengan hawa nafsu dan syahwatnya. Ajaran (Ad- Diin) yang dibawa oleh Muhammad SAW adalah Ad-Diin Berserah Diri kepada Allah Ta’ala untuk itulah dinamakan Ad-Diin Al Islam. Ikhlas menyerahkan diri kepada Allah dan muhsin, itulah Ad-Diin yang paling baik.
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.” (Q.S. 4:125)
Berserah Diri kepada Allah Ta’ala dan muhsin, maka ia telah berpegang teguh kepada Allah Ta’ala.
“Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh.Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan.” (Q.S. 31:22)
Keberserahan diri kepada Allah Ta’ala ditopang oleh empat sendi utama, yaitu: Sabar, Syukur, Tawakal dan Ikhlas. Bagaimana mungkin seorang akan menjadi seorang muslim yang utuh, apabila qalbunya tiada pernah bersabar atas segala masalah hidupnya? Selalu mengeluh dan tiada pernah bersyukur terhadap segala hal yang Allah berikan kepadanya?

GOLONGAN YANG SELAMAT MENURUT HADITS RASULULLAH

Dari Sahabat Abdullah bin Amr bin Ash r.a :
“Telah bersabda Rasulullah SAW : ” Sungguh-sungguh akan datang atas umatku sebagaimana yang telah datang pada Bani Israil, sebagaimana sepasang sandal yang sama ukurannya, sehingga kalau dulunya pernah ada di kalangan Bani Israil orang yang menzinai ibunya terang-terangan niscaya akan ada diumatku ini yang melakukan demikian. Dan sesungguhnya Bani Israil telah terpecah menjadi 72 golongan dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Semua mereka bakal masuk neraka kecuali satu golongan yang selamat. Para shahabat bertanya: “Siapakah mereka yang selamat itu ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab: ” yaitu golongan yang mengikuti Aku ada padanya pada hari ini dan yang mengikuti para Sahabatku.”
Hadits ini diriwayatkan lengkap oleh Tirmidzi, diterangkan pula oleh Hakim juz yang pertama, Ibnu Wadhoh, Imam Al-Azurri dalam kitabnya As- Syari’ah, Ibnu Nasr Al-Marwaji dalam kitabnya As- Sunnah Al-Laalikai, Abdul Qahir Al-Baghdadi dalam kitabnya Al-Faruq bainal Firaq) Hadits ini dikatakan oleh Tirmidzi HASAN GHARIB, Hadits ini dihasankan oleh Tirmidzi bukan karena secara sanad shahih, tetapi menghasankan karena Syawahidnya yang banyak. Hadits ini HASAN.
Dari Sahabat Abu Hurairah r.a : “Yahudi telah berpecah menjadi 71 golongan, dan Nasrani telah berpecah menjadi 72 golongan, dan akan berpecah umatku menjadi 73 golongan.” (Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Al-Azzuri, Hakim, Ahmad, Abu Ya’la, Ibnu Abi Asim)
Dan Tirmidzi berkata hadits ini HASAN SHAHIH. Hakim berkata SOHIHUN ala Shahih Muslim dan disetujui oleh Ad-Dzahabi.
Dari Sahabat Auf Bin Malik r.a : “Yahudi berpecah menjadi 71 golongan, 1 masuk sorga dan 70 masuk neraka. Dan Nasrani berpecah menjadi 72 golongan, 71 masuk neraka dan 1 masuk sorga, Dan demi yang diri Muhammad ada ditangan-Nya, sesungguhnya umatku sungguh-sungguh akan berpecah menjadi 73 golongan, 1 di sorga dan 72 di neraka; kemudian sahabat bertanya: ‘Ya Rasulullah, siapa mereka yang selalu satu itu yang masuk dalam surga (Wahidatun Fil Jannah)?, dijawab oleh Nabi SAW, yaitu ‘Al-Jama’ah‘” (Ibnu Majah, Ibnu Abi Asim dalam As-Sunnah, Imam Al-Laalikai)
Hadits ini di SHAHIH-kan oleh para ulama.
“Aku wasiatkan padamu agar engkau bertakwa kepada Allah, patuh dan ta’at, sekalipun yang memerintahmu seorang budak Habsyi. Sebab barangsiapa hidup (lama) di antara kamu tentu akan menyaksikan perselisihan yang banyak. Karena itu berpengang teguhlah pada sunnahku dan sunnah khulafa’ur rasyidin yang (mereka itu) mendapat petunjuk. Pegang teguhlah ia sekuat-kuatnya. Dan hati-hatilah terhadap setiap perkara yang diada-adakan, karena semua perkara yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat (dan setiap yang sesat adalah tempatnya di dalam Neraka).” (H. R. Nasa’i dan At-Tirmidzi, ia berkata hadits ini hasan shahih).
Dalam hadits yang lain Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari ahli kitab telah berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan sesungguhnya agama ini (Islam) akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua golongan tempatnya di dalam Neraka dan satu golongan di dalam Surga, yaitu Al-Jama’ah.” (HR. Ahmad dan yang lainya. Al-Hafidz menggolongkannya hadits hasan)
Dalam riwayat lain disebutkan,
“Semua golongan tersebut tempatnya di Neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku dan para shahabatku meniti di atasnya.” (HR. Ahmad dan yang lainya. dan dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ 5219).
Dari keterangan diatas, pola apa yang terlihat? Di masa yahudi, dari 71 golongan, 70 tidak selamat dan 1 selamat. Pada masa berikutnya, Nasrani, dari 72 golongan, 71 tidak selamat dan 1 selamat. Pada masa selanjutnya, dari umat Rasul SAW terbagi menjadi 73 golongan, 72 tidak selamat dan 1 selamat. Lihatlah, betapa di setiap pergantian ajaran kenabian selalu bertambah satu golongan yang tidak selamat, sedangkan yang selamat tetap satu saja.


Sesungguhnya satu golongan yang selamat sejak dulu Yahudi, Nasrani dan Umat Muhammad SAW adalah sama. Tidak berubah. Merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk Allah langsung ke Qalbu, sehingga terpimpin ke Shiraath Al Mustaqiim.
Kenapa setiap pergantian ajaran Nabi bertambah satu golongan? Karena satu golongan itu adalah golongan yang hanya menjadi merasa bangga dengan formal golongannya, tetapi substansi ajaran agama Ilahi dilupakannya atau tidak dikenalnya.
Satu golongan yang selamat adalah Al Jamaah, merekalah yang Rasulullah SAW dan sahabat berada di atasnya. Secara eksplisit dalam Al Qur’an dikatakan merekalah orang yang berada di atas Shiraath Al Mustaqiim, siapapun ia dan darimana pun asal (nama) jamaahnya.
Yang selamat bukanlah nama sebuah jamaah, apakah tasawuf, tarekat A, tarekat B, Syiah, Sunni, Ikhwan al Muslimin, Hizbut Tahrir, Salafy, Muhammadiyah, NU, atau apapun namanya. Siapapun orangnya, apakah berasal dari Tasawuf, tarekat A, tarekat B, Syiah, Sunni, Ikhwan al Muslimin, Hizbut Tahrir, Salafy, Muhammadiyah, NU dan sebagainya. Kalaulah ia mendapat petunjuk langsung dari Allah dan terpimpin ke Shirath Al Mustaqiim, maka dia termasuk dalam Al Jamaah.


Karakter mereka sejak zaman Adam, Yakub, Musa, Isa, Muhammad adalah sama. Merekalah yang mencintai Allah lebih dari dunia. Merekalah orang-orang yang mampu menggembalakan hawa nafsu dan syahwatnya (bahkan mampu menggembalakan hawa nafsu dan syahwat dirinya dalam ber-’agama’).
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)”. (Q.S. 79:40-41)
Merekalah orang mati dalam keadaan berserah diri, al muslimuun).
“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’kub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan berserah diri (kepada Allah)”. (Q.S. 2:132)
“Katakanlah: “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, ‘Isa dan para nabi dari Rabb mereka. Kami tidak membedabedakan seorangpun di antara mereka dan hanya kepada- Nya-lah kami menyerahkan diri. (Q.S. 3:84)
By:  Imam Suhadi, Yayasan Paramartha.

Wikipedia

Search results